Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”

Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”
Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN” 

“SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”
Ditulis oleh : Pandji Pragiwaksono
“Dji.. Temen temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
Itu kalimat pembuka yang sering teman teman saya tanyakan. Biasanya duduk mendekat, suaranya tiba-tiba memelan supaya yang lain tidak dengar. Lalu mereka mulai membuka obrolan dengan “Gimana Anies?”
Lalu setelah saya cerita tentang situasi pilkada terkini dari kacamata seorang jubir, baru setelah itu baru mereka melemparkan kalimat tadi…
“Temen-temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
“Nggak kenapa napa,” balas saya sembari tertawa. Yang terjadi selanjutnya adalah obrolan terbuka dan apa adanya dari saya kepada siapapun teman yang bertanya. Saya memang selalu senang kalau teman memilih untuk bertanya langsung, karenanya saya akan berikan jawaban seterbuka mungkin untuk apresiasi kebaikan dirinya untuk bertemu saya langsung ketimbang ngomel-ngomel secara terbuka apalagi di sosial media.
Nyari 100% pasti tidak saya gubris. Twitter, Facebook, WhatsApp, bukanlah medium yang saya pilih kalau mau berdiskusi. Capek tek-tok-nya. Bales-balesin satu persatu nggak selesai selesai, belum lagi yang lain nyamber, lalu orang lain lagi nyamber.
Berusaha menjelaskan sesuatu yang krusial di jejaring sosial itu seperti di sidang di depan khalayak umum. Argumentasi bukan jadi utama lagi, akan jadi kesempatan bagi orang untuk menghardik dan menghakimi. And im not in any trial. I don’t have to answer to anybody. Tetapi kalau mau berbincang langsung, saya jawab dengan senang hati.
Biasanya, setelah pertanyaan “Temen-temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?” saya jawab dengan becanda, dia selalu lempar pertanyaan sebenarnya “Jadi elo tuh kenapa milih Anies?”
Nah ini saya bisa jawab. Lebih mudah, kalau saya mulai dengan:
“Kenapa saya tidak memilih Pak Basuki”, baru “Kenapa saya memilih Mas Anies”
Setuju? Baiklah mari kita mulai.

Mengapa tidak memilih Pak Basuki?
Karena saya sejak awal tidak memilih beliau. Saya memilih Pak Jokowi. Saya memilih Gubernur yang peduli dengan CARA dia melakukan sesuatu bukan hanya melakukan tanpa pertimbangan dalam tindakan. Gubernur yang memilih pendekatan humanis. Yang berjanji tidak akan menggusur dan memilih menggeser. Gubernur yang ingat sakitnya digusur.
Penggantinya, tidak memiliki pendekatan yang sama. Anda bisa cek di TL akun-akun pendukungnya dan Anda mungkin bisa tonton argumennya di Youtube, setiap kali ditanya soal janji kampanye jawaban mereka selalu sama: “Yang janji kan Pak Jokowi. Bukan Pak Basuki.”
Berarti anggapan saya benar. Semakin kuat alasan tidak berlanjut dengan Pak Basuki, karena beliau memilih jalan sendiri yang berbeda dengan jalan yang diambil Pak Jokowi.
Dampaknya, dalam beberapa bulan Pak Basuki menggusur 8.000 kepala keluarga. Coba bandingkan dengan Fauzi Bowo yang menggusur 3.200 kepala keluarga dalam 5 tahun!
Sampai sini saja harusnya cukup membuat Anda tercengang. 8.000 dalam beberapa bulan vs 3.200 dalam 5 tahun. Kalau dibilang Pak Basuki bisa kerja, kelihatannya bisa banget bahkan lebih gesit daripada Pak Foke dalam urusan menggusur.
Kelihatannya Pak Basuki ingin bekerja dengan cepat agar pembangunan berjalan. Tapi Ayah almarhum pernah berpesan “Cepat, boleh. Buru-buru, jangan”.
Kalau angka itu tidak cukup membuat Anda kaget karena Anda bilang “Tapi kan dipindahin ke tempat tinggal yang lebih baik, yang dulu begitu nggak?”
Selain Anda bisa baca cerita mengenai pilunya orang-orang yang dipindah ke rusun setelah dicabut dari kehidupan lamanya sehingga tidak bisa berpenghasilan (Ya bayangin aja seumur hidup biasa nyari penghasilan dari laut tiba tiba dipindah 24km dari sana) juga dituliskan di artikel itu bahwa warga gusuran menambah jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan.
Saya tahu ada video penghuni rusun yang bilang hidupnya nyaman dan nikmat di tempat yang sekarang. Okay, berapa orang tuh? Coba bandingkan dengan yang kecewa dan tidak terima digusur.
Kalau memang relokasi itu dilakukan dengan baik dan dengan manusiawi, ya mana mungkin sih sebanyak itu yang protes?
Kan warga itu hanya ingin untuk tetap punya kehidupan. Punya penghasilan. Punya pekerjaan. Kalau hidup mereka nyaman sebagaimana harusnya dijamin oleh pemerintah, mana mungkin sih mereka protes?
Sebagaimana banyaknya warga yang protes dengan reklamasi Teluk Jakarta. Sesuatu yang nggak tahu kenapa ngotot dibela oleh banyak pendukung Pak Basuki. Kurang jelas apa? Ditolak Greenpeace yang hidup matinya mengenai lingkungan. Ditolak Ibu Susi Pudjiastuti yang jelas jelas adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. Ditolak oleh Marco Kusumawidjaja yang reputasinya dibangun sejak begitu lama sebagai ahli tata kota.
Saya tahu banyak yang membela reklamasi di timeline twitter Anda, tetapi kompetensi mereka dibandingkan Greenpeace, Ibu Susi, dan Mas Marco itu apa?
Anda mau membandingkan argumen seorang persona di twitter dengan Menteri?
Itu keyakinan Anda?
Mungkin pertanyaan lebih mendasar di Pilkada DKI Jakarta ini adalah: Anda memilih Gubernur untuk anda. Atau untuk seluruh warga Jakarta?
Anda mencari pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan Anda, atau Anda mencari pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan seluruh warga Jakarta?
Karena untuk setiap jawaban, Anda akan bertemu dengan nama gubernur yang berbeda. Kalau Anda mencari Gubernur untuk Anda sendiri, maka pilih Pak Basuki, saya tidak akan menghalangi Anda. Bahkan saya mendukung Anda.
Tapi saya akan ada di seberang Anda.
Karena saya tidak perlu dibantu oleh Gubernur DKI Jakarta. Saya terdidik dan saya berdaya. Saya bisa mandiri dan memperjuangkan keperluan saya sendiri. Adalah warga Kampung Akuarium, warga Kampung Duri, dan seluruh warga DKI Jakarta lain yang suaranya tidak ada di sosial media, yang lebih butuh bantuan dari seorang Gubernur DKI Jakarta.
Mereka butuh dibantu untuk bisa memiliki rumah.
Mereka butuh dibantu untuk bisa memiliki pekerjaan.
Mereka butuh dibantu agar anak anak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Mereka ini yang perlu dibela.

Bukan saya.
Saya mencari pemimpin yang mau bekerja untuk SEMUA warga Jakarta.
Saya mencari pemimpin yang bahkan mengajak SAYA ikut bekerja.

Saya mencari pemimpin yang datang dan bicara “Pandji, mohon maaf tapi saya butuh bantuanmu. Warga Jakarta banyak yang perlu dibela dan diperjuangkan. Kamu punya expertise yang dibutuhkan. Maukah?”
Saya mencari pemimpin yang menggerakkan.

Saya mencari pemimpin yang punya gagasan. Jelas dari sisi pendidikan dia punya dukungan ilmu untuk bisa menemukan gagasan terbaik untuk Jakarta.
Saya mencari Arsitek bagi kota Jakarta. Arsitek itu kan tidak ikut kerja nyusun bata dan nyemen tembok. Itu dikerjakan oleh pekerjanya. Arsitek itu kerjanya adalah menggagas bangunannya. Mendesain. Mengukur. Menghitung. Bahkan di banyak firma Arsitek, sang Arsitek tidak menggambar apapun karena ada lagi yang kerjanya melakukan itu.
Kendatipun dia tidak ikut menyusun batu bata, kendatipun dia tidak menggambar apa-apa, tetapi kehadiran Arsitek, gagasan seorang Arsitek, menentukan hasil akhir dari bangunan tersebut.
Kalau Anda mau memilih pekerja, ya silakan. Tapi di mana-mana, pekerja ya kerja untuk yang punya gagasan. Saya mencari pemimpin yang bisa memberikan Grand Design. Saya mencari pemimpin yang punya gagasan. Saya juga mencari pemimpin yang tahu caranya berhadapan dengan warganya sendiri.
Tahu bagaimana cara berbicara dengan rakyatnya sendiri. Mendengarkan sebagai pimpinan, bukan sebagai atasan yang merasa jadi pemilik kebenaran. Mengerti ketika warganya salah dan mengerti caranya menyikapi kesalahan warganya.
Saya tidak mau punya pemimpin yang bilang dia ingin isi watercanon dengan bensin untuk membakar pendemo bayaran. Lah ketika di jalanan berhadapan dengan watercanon bedainnya mana yang dibayar dan engga gimana?
Saya tidak mau punya pemimpin yang ketika tahu ada warganya yang menangis karena rumah yang dia punya lenyap digusur, karena dicabut kehidupannya, malah disebut nangis sinetron. Kok ya insensitif amat jadi pemimpin.
Biarlah cukup Amerika yang punya pemimpin seperti itu (Donald Trump juga pernah menuding senator Schumer pura-pura nangis ketika Schumer protes terhadap kebijakan imigrasi Trump).
Saya tidak mau punya pemimpin yang ngebully warganya sendiri di depan awak media. Saya tahu Pak Basuki dan pendukungnya bilang Ibu Yusri adalah pencuri karena menguangkan KJP sementara KJP tidak boleh diuangkan. Ibu itu salah.
Betul, saya setuju Ibu itu salah, tetapi Ibu Yusri BUKAN MALING. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena mana pernah sih maling komplen ke orang yang baru dia curi uangnya?
Kalau Ibu Yusri itu sadar dia maling, mana mungkin sih dia datengin Pak Basuki untuk protes? Mana ada orang abis nyuri TV, besoknya nyamperin korban dan protes “Semalem saya nyuri TV Bapak nih, saya pasang di rumah kok gambarnya kresek-kresek?”
Mana ada?
Ibu Yusri itu bukan maling. Ibu Yusri adalah warga DKI Jakarta yang tidak mengerti aturannya. Makanya dia datang untuk bertanya dengan nada protes.
Kalau Pak Basuki tidak tahu caranya berhadapan dan menjelaskan kepada warganya sendiri yang tidak mengerti aturan, mungkin ada baiknya Pak Basuki ga usah jadi Gubernur sekalian.
Lebih krusial lagi, ketidakmampuan Pak Basuki (dan pendukungnya) mengidentifikasi Bu Yusri sebagai warga yang kebingungan, jadi indikator kuat betapa beliau (dan pendukungnya) jauh jaraknya dengan warga DKI Jakarta menengah ke bawah.
Itulah mengapa, saya memilih pemimpin yang bisa dan mampu bekerja untuk seluruh warga Jakarta. Itulah mengapa pilihan saya jatuh ke Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Bagaimana dengan segala tudingan terhadap Anies-Sandi? Bagaimana dengan program Anies-Sandi? 🙂
Saya percaya Anda punya cukup kebijakan untuk mencari tau sendiri jawabannya. Anda bisa baca dari berbagai sumber, Anda bisa bandingkan, Anda bisa perhatikan diskusinya, Anda bisa simpulkan sendiri.
Saya adalah jubir resmi, apapun jawaban saya sebagaimanapun saya berusaha untuk objektif, tentu saya besar kemungkinannya untuk bias. Silakan cari tahu sendiri.
Dari beberapa survei, kelihatan sekali elektabilitas Agus-Sylvi turun sementara Anies-Sandi mendekat ke Basuki Djarot.
Bahkan kalau dilihat trend-nya, Agus-Sylvi terus turun sementara momentum Anies-Sandi begitu tinggi.
Apa artinya? Artinya yang kini punya peluang untuk mengalahkan Basuki-Djarot kini tinggallah Anies-Sandi.
Pasangan underdog yang awalnya bahkan tidak pernah dianggap punya peluang.
Kalau Anda percaya dengan yang saya percayai, kita bisa sama-sama bergabung untuk memastikan Jakarta kembali punya pemimpin yang humanis.
Yang peduli dengan perasaan warganya. Yang punya gagasan untuk mengarahkan yang kerja. Yang bisa jadi jembatan segala keragaman di Jakarta. Yang bisa berdialog dengan semua kalangan ketika masalah terjadi tanpa perlu minta bantuan orang lain untuk selesaikan. Yang bisa mempersatukan.
Yang dibutuhkan seluruh warga Jakarta termasuk dia yang suaranya tidak pernah Anda lihat di sosial media. Sampai di sini, pasti ada yang dibenaknya bertanya tanya
“Gila nih Pandji. Dibayar berapa sih dia sampai seperti ini?”
Demikianlah cara pandang orang orang self-righteous yang merasa hanya dirinya yang benar. Hanya dirinya yang tulus. Yang lain salah. Yang lain pasti bayaran.
Rada arogan menurut saya. Biarlah mereka berkubang di kolam blunder-nya. Biar mereka yakini saya dibayar.
Karena kalau dibayarnya dengan “Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya” saya berani bilang, betul, saya dibayar Anies Baswedan.
Sumber : zonasatu.com
Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”
Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN” 

“SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”
Ditulis oleh : Pandji Pragiwaksono
“Dji.. Temen temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
Itu kalimat pembuka yang sering teman teman saya tanyakan. Biasanya duduk mendekat, suaranya tiba-tiba memelan supaya yang lain tidak dengar. Lalu mereka mulai membuka obrolan dengan “Gimana Anies?”
Lalu setelah saya cerita tentang situasi pilkada terkini dari kacamata seorang jubir, baru setelah itu baru mereka melemparkan kalimat tadi…
“Temen-temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?”
“Nggak kenapa napa,” balas saya sembari tertawa. Yang terjadi selanjutnya adalah obrolan terbuka dan apa adanya dari saya kepada siapapun teman yang bertanya. Saya memang selalu senang kalau teman memilih untuk bertanya langsung, karenanya saya akan berikan jawaban seterbuka mungkin untuk apresiasi kebaikan dirinya untuk bertemu saya langsung ketimbang ngomel-ngomel secara terbuka apalagi di sosial media.
Nyari 100% pasti tidak saya gubris. Twitter, Facebook, WhatsApp, bukanlah medium yang saya pilih kalau mau berdiskusi. Capek tek-tok-nya. Bales-balesin satu persatu nggak selesai selesai, belum lagi yang lain nyamber, lalu orang lain lagi nyamber.
Berusaha menjelaskan sesuatu yang krusial di jejaring sosial itu seperti di sidang di depan khalayak umum. Argumentasi bukan jadi utama lagi, akan jadi kesempatan bagi orang untuk menghardik dan menghakimi. And im not in any trial. I don’t have to answer to anybody. Tetapi kalau mau berbincang langsung, saya jawab dengan senang hati.
Biasanya, setelah pertanyaan “Temen-temen gue pada nanya ke gue, si Pandji kenapa sih?” saya jawab dengan becanda, dia selalu lempar pertanyaan sebenarnya “Jadi elo tuh kenapa milih Anies?”
Nah ini saya bisa jawab. Lebih mudah, kalau saya mulai dengan:
“Kenapa saya tidak memilih Pak Basuki”, baru “Kenapa saya memilih Mas Anies”
Setuju? Baiklah mari kita mulai.

Mengapa tidak memilih Pak Basuki?
Karena saya sejak awal tidak memilih beliau. Saya memilih Pak Jokowi. Saya memilih Gubernur yang peduli dengan CARA dia melakukan sesuatu bukan hanya melakukan tanpa pertimbangan dalam tindakan. Gubernur yang memilih pendekatan humanis. Yang berjanji tidak akan menggusur dan memilih menggeser. Gubernur yang ingat sakitnya digusur.
Penggantinya, tidak memiliki pendekatan yang sama. Anda bisa cek di TL akun-akun pendukungnya dan Anda mungkin bisa tonton argumennya di Youtube, setiap kali ditanya soal janji kampanye jawaban mereka selalu sama: “Yang janji kan Pak Jokowi. Bukan Pak Basuki.”
Berarti anggapan saya benar. Semakin kuat alasan tidak berlanjut dengan Pak Basuki, karena beliau memilih jalan sendiri yang berbeda dengan jalan yang diambil Pak Jokowi.
Dampaknya, dalam beberapa bulan Pak Basuki menggusur 8.000 kepala keluarga. Coba bandingkan dengan Fauzi Bowo yang menggusur 3.200 kepala keluarga dalam 5 tahun!
Sampai sini saja harusnya cukup membuat Anda tercengang. 8.000 dalam beberapa bulan vs 3.200 dalam 5 tahun. Kalau dibilang Pak Basuki bisa kerja, kelihatannya bisa banget bahkan lebih gesit daripada Pak Foke dalam urusan menggusur.
Kelihatannya Pak Basuki ingin bekerja dengan cepat agar pembangunan berjalan. Tapi Ayah almarhum pernah berpesan “Cepat, boleh. Buru-buru, jangan”.
Kalau angka itu tidak cukup membuat Anda kaget karena Anda bilang “Tapi kan dipindahin ke tempat tinggal yang lebih baik, yang dulu begitu nggak?”
Selain Anda bisa baca cerita mengenai pilunya orang-orang yang dipindah ke rusun setelah dicabut dari kehidupan lamanya sehingga tidak bisa berpenghasilan (Ya bayangin aja seumur hidup biasa nyari penghasilan dari laut tiba tiba dipindah 24km dari sana) juga dituliskan di artikel itu bahwa warga gusuran menambah jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan.
Saya tahu ada video penghuni rusun yang bilang hidupnya nyaman dan nikmat di tempat yang sekarang. Okay, berapa orang tuh? Coba bandingkan dengan yang kecewa dan tidak terima digusur.
Kalau memang relokasi itu dilakukan dengan baik dan dengan manusiawi, ya mana mungkin sih sebanyak itu yang protes?
Kan warga itu hanya ingin untuk tetap punya kehidupan. Punya penghasilan. Punya pekerjaan. Kalau hidup mereka nyaman sebagaimana harusnya dijamin oleh pemerintah, mana mungkin sih mereka protes?
Sebagaimana banyaknya warga yang protes dengan reklamasi Teluk Jakarta. Sesuatu yang nggak tahu kenapa ngotot dibela oleh banyak pendukung Pak Basuki. Kurang jelas apa? Ditolak Greenpeace yang hidup matinya mengenai lingkungan. Ditolak Ibu Susi Pudjiastuti yang jelas jelas adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. Ditolak oleh Marco Kusumawidjaja yang reputasinya dibangun sejak begitu lama sebagai ahli tata kota.
Saya tahu banyak yang membela reklamasi di timeline twitter Anda, tetapi kompetensi mereka dibandingkan Greenpeace, Ibu Susi, dan Mas Marco itu apa?
Anda mau membandingkan argumen seorang persona di twitter dengan Menteri?
Itu keyakinan Anda?
Mungkin pertanyaan lebih mendasar di Pilkada DKI Jakarta ini adalah: Anda memilih Gubernur untuk anda. Atau untuk seluruh warga Jakarta?
Anda mencari pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan Anda, atau Anda mencari pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan seluruh warga Jakarta?
Karena untuk setiap jawaban, Anda akan bertemu dengan nama gubernur yang berbeda. Kalau Anda mencari Gubernur untuk Anda sendiri, maka pilih Pak Basuki, saya tidak akan menghalangi Anda. Bahkan saya mendukung Anda.
Tapi saya akan ada di seberang Anda.
Karena saya tidak perlu dibantu oleh Gubernur DKI Jakarta. Saya terdidik dan saya berdaya. Saya bisa mandiri dan memperjuangkan keperluan saya sendiri. Adalah warga Kampung Akuarium, warga Kampung Duri, dan seluruh warga DKI Jakarta lain yang suaranya tidak ada di sosial media, yang lebih butuh bantuan dari seorang Gubernur DKI Jakarta.
Mereka butuh dibantu untuk bisa memiliki rumah.
Mereka butuh dibantu untuk bisa memiliki pekerjaan.
Mereka butuh dibantu agar anak anak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Mereka ini yang perlu dibela.

Bukan saya.
Saya mencari pemimpin yang mau bekerja untuk SEMUA warga Jakarta.
Saya mencari pemimpin yang bahkan mengajak SAYA ikut bekerja.

Saya mencari pemimpin yang datang dan bicara “Pandji, mohon maaf tapi saya butuh bantuanmu. Warga Jakarta banyak yang perlu dibela dan diperjuangkan. Kamu punya expertise yang dibutuhkan. Maukah?”
Saya mencari pemimpin yang menggerakkan.

Saya mencari pemimpin yang punya gagasan. Jelas dari sisi pendidikan dia punya dukungan ilmu untuk bisa menemukan gagasan terbaik untuk Jakarta.
Saya mencari Arsitek bagi kota Jakarta. Arsitek itu kan tidak ikut kerja nyusun bata dan nyemen tembok. Itu dikerjakan oleh pekerjanya. Arsitek itu kerjanya adalah menggagas bangunannya. Mendesain. Mengukur. Menghitung. Bahkan di banyak firma Arsitek, sang Arsitek tidak menggambar apapun karena ada lagi yang kerjanya melakukan itu.
Kendatipun dia tidak ikut menyusun batu bata, kendatipun dia tidak menggambar apa-apa, tetapi kehadiran Arsitek, gagasan seorang Arsitek, menentukan hasil akhir dari bangunan tersebut.
Kalau Anda mau memilih pekerja, ya silakan. Tapi di mana-mana, pekerja ya kerja untuk yang punya gagasan. Saya mencari pemimpin yang bisa memberikan Grand Design. Saya mencari pemimpin yang punya gagasan. Saya juga mencari pemimpin yang tahu caranya berhadapan dengan warganya sendiri.
Tahu bagaimana cara berbicara dengan rakyatnya sendiri. Mendengarkan sebagai pimpinan, bukan sebagai atasan yang merasa jadi pemilik kebenaran. Mengerti ketika warganya salah dan mengerti caranya menyikapi kesalahan warganya.
Saya tidak mau punya pemimpin yang bilang dia ingin isi watercanon dengan bensin untuk membakar pendemo bayaran. Lah ketika di jalanan berhadapan dengan watercanon bedainnya mana yang dibayar dan engga gimana?
Saya tidak mau punya pemimpin yang ketika tahu ada warganya yang menangis karena rumah yang dia punya lenyap digusur, karena dicabut kehidupannya, malah disebut nangis sinetron. Kok ya insensitif amat jadi pemimpin.
Biarlah cukup Amerika yang punya pemimpin seperti itu (Donald Trump juga pernah menuding senator Schumer pura-pura nangis ketika Schumer protes terhadap kebijakan imigrasi Trump).
Saya tidak mau punya pemimpin yang ngebully warganya sendiri di depan awak media. Saya tahu Pak Basuki dan pendukungnya bilang Ibu Yusri adalah pencuri karena menguangkan KJP sementara KJP tidak boleh diuangkan. Ibu itu salah.
Betul, saya setuju Ibu itu salah, tetapi Ibu Yusri BUKAN MALING. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena mana pernah sih maling komplen ke orang yang baru dia curi uangnya?
Kalau Ibu Yusri itu sadar dia maling, mana mungkin sih dia datengin Pak Basuki untuk protes? Mana ada orang abis nyuri TV, besoknya nyamperin korban dan protes “Semalem saya nyuri TV Bapak nih, saya pasang di rumah kok gambarnya kresek-kresek?”
Mana ada?
Ibu Yusri itu bukan maling. Ibu Yusri adalah warga DKI Jakarta yang tidak mengerti aturannya. Makanya dia datang untuk bertanya dengan nada protes.
Kalau Pak Basuki tidak tahu caranya berhadapan dan menjelaskan kepada warganya sendiri yang tidak mengerti aturan, mungkin ada baiknya Pak Basuki ga usah jadi Gubernur sekalian.
Lebih krusial lagi, ketidakmampuan Pak Basuki (dan pendukungnya) mengidentifikasi Bu Yusri sebagai warga yang kebingungan, jadi indikator kuat betapa beliau (dan pendukungnya) jauh jaraknya dengan warga DKI Jakarta menengah ke bawah.
Itulah mengapa, saya memilih pemimpin yang bisa dan mampu bekerja untuk seluruh warga Jakarta. Itulah mengapa pilihan saya jatuh ke Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Bagaimana dengan segala tudingan terhadap Anies-Sandi? Bagaimana dengan program Anies-Sandi? 🙂
Saya percaya Anda punya cukup kebijakan untuk mencari tau sendiri jawabannya. Anda bisa baca dari berbagai sumber, Anda bisa bandingkan, Anda bisa perhatikan diskusinya, Anda bisa simpulkan sendiri.
Saya adalah jubir resmi, apapun jawaban saya sebagaimanapun saya berusaha untuk objektif, tentu saya besar kemungkinannya untuk bias. Silakan cari tahu sendiri.
Dari beberapa survei, kelihatan sekali elektabilitas Agus-Sylvi turun sementara Anies-Sandi mendekat ke Basuki Djarot.
Bahkan kalau dilihat trend-nya, Agus-Sylvi terus turun sementara momentum Anies-Sandi begitu tinggi.
Apa artinya? Artinya yang kini punya peluang untuk mengalahkan Basuki-Djarot kini tinggallah Anies-Sandi.
Pasangan underdog yang awalnya bahkan tidak pernah dianggap punya peluang.
Kalau Anda percaya dengan yang saya percayai, kita bisa sama-sama bergabung untuk memastikan Jakarta kembali punya pemimpin yang humanis.
Yang peduli dengan perasaan warganya. Yang punya gagasan untuk mengarahkan yang kerja. Yang bisa jadi jembatan segala keragaman di Jakarta. Yang bisa berdialog dengan semua kalangan ketika masalah terjadi tanpa perlu minta bantuan orang lain untuk selesaikan. Yang bisa mempersatukan.
Yang dibutuhkan seluruh warga Jakarta termasuk dia yang suaranya tidak pernah Anda lihat di sosial media. Sampai di sini, pasti ada yang dibenaknya bertanya tanya
“Gila nih Pandji. Dibayar berapa sih dia sampai seperti ini?”
Demikianlah cara pandang orang orang self-righteous yang merasa hanya dirinya yang benar. Hanya dirinya yang tulus. Yang lain salah. Yang lain pasti bayaran.
Rada arogan menurut saya. Biarlah mereka berkubang di kolam blunder-nya. Biar mereka yakini saya dibayar.
Karena kalau dibayarnya dengan “Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya” saya berani bilang, betul, saya dibayar Anies Baswedan.
Sumber : zonasatu.com

Related : Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN”

0 Komentar untuk "Heboh !!....Pengakuan Pandji : “SAYA DIBAYAR ANIES BASWEDAN” "