Sekali Mayor, Tetap Mayor! Masih Ada Cahaya Di Ujung Lorong

Sekali Mayor, Tetap Mayor!
Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.




Red : Muhammad Subarkah


Sekelompok tentara dengan pakaian dinas lapangan loreng, malam itu terlihat riang dan bersemangat. Mereka berjoget di posnya. Merayakan malam terakhir sebagai pasukan Rajawali TNI di Bumi Tanah Rencong. Musik dangdut pun menggema mengirngi para serdadu melepaskan kepenatan.

“Malam ini, malam terakhir bagi kita
Untuk mencurahkan rasa rindu di dada
Esok aku, akan pergi lama kembali
Kuharapkan agar engkau sabar menanti…”

Itulah syair yang berkumandang di wilayah tanggung jawab Korem Teuku Umar, Kodam Iskandar Muda, Aceh. Lagu ciptaan ‘raja’ dangdut, Rhoma Irama berjudul ‘Malam Terakhir’, seperti menjadi lagu wajib bagi prajurit TNI yang akan mengakhiri tugasnya di daerah operasi militer.

Di antara para personel militer itu ada perwira remaja 24 tahun, Letnan Dua (Infanteri) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lulusan terbaik Akademi Militer 2000. Ia merupakan putra dari Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 2002, ia menjabat Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 305/Tengkorak, jajaran Brigif Linud 17 Kostrad. Batalyon itu bertugas untuk melakukan operasi pemulihan keamanan di Aceh.

Di luar batalyon, ia juga sebagai Komandan Tim Khusus (Dan Timsus) yang bertugas melumpuhkan gerilya pasukan Aceh Merdeka. Saat itu Korem Teuku Umar mendirikan media center, untuk menjalin komunikasi dengan media massa. Agus ikut berperan sebagai Public Information Officer (PIO).

Nah, di situlah untuk pertama kalinya, saya mengenal Letda Agus Yudhoyono. Sebagai tentara yang baru dua tahun lulus dari Akademi Militer Magelang, ia kerap memberikan hormat militer, termasuk kepada wartawan yang dianggapnya senior.

“Abang mau ke mana? Saya yang antar,” kata Agus menawarkan diri menjadi sopir, ketika saya hendak menuju Aceh Besar pada akhir 2002. Begitulah cerita singkat perjumpaan dengan Agus di daerah pertempuran.

Di Aceh memang unik. Perangnya seperti perang-perangan alias main-mainan. Namun kalau mati, ya mati beneran. Wartawan pun mesti hapal bunyi senjata berdasarkan jenisnya. Hal ini penting untuk mengetahui senjata siapa yang sedang menyalak.

Bukan cuma diantar oleh TNI ke lokasi tertentu, namun beberapa kali juga diantar oleh Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Wartawan harus bisa dekat dengan kedua kelompok yang sedang bertempur. Sudah pastilah dituding oleh GAM sebagai antek TNI. Sebaliknya dituding oleh TNI sebagai antek GAM.

Saya beruntung tidak bergabung dengan rombongan wartawan yang diberangkatkan oleh Mabes TNI. Mereka sudah dilatih sekitar dua pekan di pusat latihan tempur Kostrad, Sangga Buana, Jawa Barat. Mereka juga mendapatkan tanda pengenal khusus.

Saya sudah dapat ilmu itu lebih dahulu pada 1993-1995. Teknik liputan di daerah pertempuran gerilya maupun perang kota. Baik yang terjadi di dalam negeri hingga luar negeri, seperti di Kamboja dan Bosnia. Juga praktik langsung, seperti di Timor Timur dan Papua serta Kamboja dan lain-lain.

Tetapi bukan itu yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menulis sesuatu dengan santai dan ringan sebagai bahan bacaan di hari libur. Tidak perlu serius-serius amat. Apalagi soal dukung-mendukung dalam pilkadut (pilkada rasa dangdut).



Kembali soal Letnan Agus yang kini sudah menjadi bekas Mayor Agus. Jabatan terakhirnya sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203, Kodam Jayakarta. Mestinya per 1 April 2017 ini, Agus berhak mendapatkan kenaikan pangkat sebagai letnan kolonel.

Namun, ia mengundurkan diri dari dinas militer, banting setir untuk jabatan politik. Agus ingin berkontestasi menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Peristiwa sebelumnya juga terjadi pada Mayor (Arhanud) Yoyok Riyo Sudibyo. Ia mengundurkan diri dari dinas militer, karena ingin berkontestasi dalam pemilihan Bupati Batang. Jabatan terakhirnya dalam karier militer sebagai Komandan Satgas Intel BIN di Jayawiyaja, Papua.

Lulusan Akademi Militer 1994 itu ternyata berhasil dan menjadi Bupati Batang, 2012-2017. Dia pun tetap dengan tekadnya hanya maju untuk satu kali saja. Maka, kini dia tidak lagi maju dalam pilkada. Dia pun mendapatkan julukan ‘mayor edan’.

Jabatan gubernur, pastilah termasuk yang diidam-idamkan oleh perwira militer berpangkat mayor jenderal. Dari 15 bekas gubernur Jakarta, delapan berasal dari militer. Semuanya dengan pangkat terakhir letnan jenderal.

Hanya Daan Jahja saja yang berpangkat letnan kolonel. Saat itu Indonesia dalam keadan darurat, sehingga Wakikota Jakarta diserahkan dari Suwiryo kepada Letkol Daan Jahja, Panglima Siliwangi. Maka jabatannya sebagai Gubernur Jenderal Jakarta pada 1949-1951. Pangkat terakhir Daan sebagai brigadir jenderal.

Selain Daan, umumnya ketika menjabat Gubernur Jakarta, pangkatnya mayor jenderal. Bukan mayor, apalagi sersan mayor.

“Ahh, yang penting masih ada mayornya,” kata Jenderal Naga Bonar kepada Lukman, setelah siuman. Ia pingsan ketika pangkatnya diturunkan dari mayor menjadi sersan mayor.

Hukuman diberikan kepada Lukman setelah terbukti menghamili seorang gadis kampung, bernama Jamilah. Begitulah secuil kisah dalam film Naga Bonar, karya Asrul Sani pada 1987. Salah satu film terbaik Indonesia yang berulang kali saya lihat, sehingga hapal jalan cerita serta sejumlah dialognya.

Mayor Lukman, tokoh rekaan dalam film tersebut adalah otak dari pasukan yang dipimpin Jenderal Naga Bonar. Film ini berkisah tentang perlawanan tentara saat melawan penjajahan Belanda di Lubuk Pakam. Terinspirasi dari kisah perjuangan tokoh Karo, Payung Bangun, komandan Barisan Harimau Liar.

Mayor berasal dari pangkat majoor dalam ketentaraan Hindia Belanda atau het Koninlijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL). Orang pribumi Hindia Belanda atau Indonesia yang pernah mencapai pangkat ini, pada masa itu hanya satu orang, yaitu: Urip Sumohardjo.

Mayor memang pangkat terendah untuk golongan perwira menengah. Tetapi kalau kita belajar musik, pastilah tahu tangga nada mayor.

Kebetulan saat di SMP Katolik Budi Mulia ‘Desa Putra’ Jakarta, pada 1980-1983, saya mendapatkan pelajaran musik dari seorang bruder asal Belanda. Namanya Bruder Dagobert Vlej, dari ordo Katolik atau kongregasi Budi Mulia (BM). Biasa dipanggil dengan sebutan Bruder Dago.

“Solmisasi: Do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Itulah tangga nada mayor. Tangga nada yang paling terkenal di dunia, sudah ribuan bahkan jutaan lagu populer yang tercipta dari tangga nada tersebut,” kata Bruder Dago.

Ciri-ciri tangga nada mayor, kata dia, antara lain bersifat riang gembira dan bersemangat.

Nah, barangkali pula, para tentara berpangkat mayor terlihat gembira dan bersemangat. Sampai lupa bahwa jabatan itu belum waktunya untuk diperoleh.


Kembali ke figur Mayor Lukman dalam film Naga Bonar dengan tokoh utama Dedy Mizwar. Ternyata, Lukman adalah penentu segalanya. Dia menjadikan Naga Bonar (diperankan Dedy Mizwar), si tukang copet, menjadi jenderal.

‘’Kalau aku… mayor sajalah cukup. Tapi beras masuk dalam urusanku,’’ ujar Lukman dengan senyum terkembang.

DI antara para perwira itu, pangkat Lukman paling rendah. Tapi dialah yang paling diuntungkan sebagai pemegang lisensi berdagang beras untuk kesatuan tentara maupun untuk penduduk. Dia cukup menjadi ‘Mayor Beras’ atau mayor urusan logistik.

Naga Bonar memang hanya jenderal boneka. Boneka si Mayor Beras. Naga selalu kalah berdebat dengan Lukman. Dia selalu bilang, ‘’Bagaimana kudebat dia? Dia anak HBS (Hogere Burger School), awak sekolah bambu pun tak tamat.’’

Tapi dalam cerita itu, Asrul Sani menunjukkan ‘kejenderalan’ si Naga Bonar. Tentu saja dengan aksi-aksi yang komedis. Mayor Lukman mengkritik Jenderal Naga yang telah menggagalkan perundingan.

Naga menunjuk Parit Buntar sebagai markas kesatuannya, padahal tempat itu dapur tentara Belanda. Sang Jenderal berkata dengan keras, ‘’Aku tidak main-main, Lukman. Belanda itu mengira mereka pintar dan kita bodoh. Tapi Naga Bonar tidak bodoh. Kalau kukatakan di mana pasukan kita, dia akan tanya di mana kita taruh mortir, di mana 12,7.’’

Di akhir cerita, terungkaplan siapa sebenanrnya Lukman. Naga pun harus memberikan hukuman.

‘’Mayor Lukman, aku sudah larang mencuri. Siapa yang mencuri, baik ayam atau kambing atau apa saja, akan dihukum. Kau sudah mencuri barang rakyat, milik si Jamilah, anak Pak Jamal. Karena itu, kau harus dihukum. Kau harus turun pangkat, dari mayor jadi sersan mayor.’’

‘’Malulah aku, Bang.’’
‘’Yah, kau kan harus dihukum, Lukman. Kalau kau tak dihukum, apa kata orang nanti?’’
‘’Saya terima. Turun pangkat, boleh. Tapi dari mayor turun ke kapten, bukan ke sersan mayor. Sampai hatilah Abang.’’
‘’Hei, aku sudah pikir. Aku mau kau tetap mayor. Kupikir kau kapten mayor, tak bisa. Nanti kau bilang, tak ada pangkat macam begitu. Hei, malu aku! Jadi kubikin kau sersan mayor. Biar turun pangkat, tapi kau tetap mayor. Begitu, kan?’’
‘’Iya, Bang. Sekali mayor, tetap mayor!’’

Ya, bagi Naga Bonar, heroisme itu bukan soal pangkat, seragam, dan perang. Semua itu sudah berlalu. Naga Bonar bahkan tak melanjutkan karier militer selepas perang. Sempat ia berpikir menjadi polisi, tapi ia menimbang lagi keputusan itu.

“Masa pencopet menjadi polisi,” ujar Naga. Ia pun memilih berdagang dan tidak lagi mencopet.
Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan bekas Mayor Yoyok setelah sekarang tidak menjadi bupati lagi. Namun sepertinya ada cahaya di ujung lorong bagi bekas Mayor Yoyok dan Mayor Agus yang telah mengakui kekalahannya dalam kompetisi pilkada DKI Jakarta periode 2017-2022.


Wallahualam.

Sekali Mayor, Tetap Mayor!
Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.




Red : Muhammad Subarkah


Sekelompok tentara dengan pakaian dinas lapangan loreng, malam itu terlihat riang dan bersemangat. Mereka berjoget di posnya. Merayakan malam terakhir sebagai pasukan Rajawali TNI di Bumi Tanah Rencong. Musik dangdut pun menggema mengirngi para serdadu melepaskan kepenatan.

“Malam ini, malam terakhir bagi kita
Untuk mencurahkan rasa rindu di dada
Esok aku, akan pergi lama kembali
Kuharapkan agar engkau sabar menanti…”

Itulah syair yang berkumandang di wilayah tanggung jawab Korem Teuku Umar, Kodam Iskandar Muda, Aceh. Lagu ciptaan ‘raja’ dangdut, Rhoma Irama berjudul ‘Malam Terakhir’, seperti menjadi lagu wajib bagi prajurit TNI yang akan mengakhiri tugasnya di daerah operasi militer.

Di antara para personel militer itu ada perwira remaja 24 tahun, Letnan Dua (Infanteri) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lulusan terbaik Akademi Militer 2000. Ia merupakan putra dari Menko Polhukam, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada 2002, ia menjabat Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 305/Tengkorak, jajaran Brigif Linud 17 Kostrad. Batalyon itu bertugas untuk melakukan operasi pemulihan keamanan di Aceh.

Di luar batalyon, ia juga sebagai Komandan Tim Khusus (Dan Timsus) yang bertugas melumpuhkan gerilya pasukan Aceh Merdeka. Saat itu Korem Teuku Umar mendirikan media center, untuk menjalin komunikasi dengan media massa. Agus ikut berperan sebagai Public Information Officer (PIO).

Nah, di situlah untuk pertama kalinya, saya mengenal Letda Agus Yudhoyono. Sebagai tentara yang baru dua tahun lulus dari Akademi Militer Magelang, ia kerap memberikan hormat militer, termasuk kepada wartawan yang dianggapnya senior.

“Abang mau ke mana? Saya yang antar,” kata Agus menawarkan diri menjadi sopir, ketika saya hendak menuju Aceh Besar pada akhir 2002. Begitulah cerita singkat perjumpaan dengan Agus di daerah pertempuran.

Di Aceh memang unik. Perangnya seperti perang-perangan alias main-mainan. Namun kalau mati, ya mati beneran. Wartawan pun mesti hapal bunyi senjata berdasarkan jenisnya. Hal ini penting untuk mengetahui senjata siapa yang sedang menyalak.

Bukan cuma diantar oleh TNI ke lokasi tertentu, namun beberapa kali juga diantar oleh Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Wartawan harus bisa dekat dengan kedua kelompok yang sedang bertempur. Sudah pastilah dituding oleh GAM sebagai antek TNI. Sebaliknya dituding oleh TNI sebagai antek GAM.

Saya beruntung tidak bergabung dengan rombongan wartawan yang diberangkatkan oleh Mabes TNI. Mereka sudah dilatih sekitar dua pekan di pusat latihan tempur Kostrad, Sangga Buana, Jawa Barat. Mereka juga mendapatkan tanda pengenal khusus.

Saya sudah dapat ilmu itu lebih dahulu pada 1993-1995. Teknik liputan di daerah pertempuran gerilya maupun perang kota. Baik yang terjadi di dalam negeri hingga luar negeri, seperti di Kamboja dan Bosnia. Juga praktik langsung, seperti di Timor Timur dan Papua serta Kamboja dan lain-lain.

Tetapi bukan itu yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menulis sesuatu dengan santai dan ringan sebagai bahan bacaan di hari libur. Tidak perlu serius-serius amat. Apalagi soal dukung-mendukung dalam pilkadut (pilkada rasa dangdut).



Kembali soal Letnan Agus yang kini sudah menjadi bekas Mayor Agus. Jabatan terakhirnya sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203, Kodam Jayakarta. Mestinya per 1 April 2017 ini, Agus berhak mendapatkan kenaikan pangkat sebagai letnan kolonel.

Namun, ia mengundurkan diri dari dinas militer, banting setir untuk jabatan politik. Agus ingin berkontestasi menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Peristiwa sebelumnya juga terjadi pada Mayor (Arhanud) Yoyok Riyo Sudibyo. Ia mengundurkan diri dari dinas militer, karena ingin berkontestasi dalam pemilihan Bupati Batang. Jabatan terakhirnya dalam karier militer sebagai Komandan Satgas Intel BIN di Jayawiyaja, Papua.

Lulusan Akademi Militer 1994 itu ternyata berhasil dan menjadi Bupati Batang, 2012-2017. Dia pun tetap dengan tekadnya hanya maju untuk satu kali saja. Maka, kini dia tidak lagi maju dalam pilkada. Dia pun mendapatkan julukan ‘mayor edan’.

Jabatan gubernur, pastilah termasuk yang diidam-idamkan oleh perwira militer berpangkat mayor jenderal. Dari 15 bekas gubernur Jakarta, delapan berasal dari militer. Semuanya dengan pangkat terakhir letnan jenderal.

Hanya Daan Jahja saja yang berpangkat letnan kolonel. Saat itu Indonesia dalam keadan darurat, sehingga Wakikota Jakarta diserahkan dari Suwiryo kepada Letkol Daan Jahja, Panglima Siliwangi. Maka jabatannya sebagai Gubernur Jenderal Jakarta pada 1949-1951. Pangkat terakhir Daan sebagai brigadir jenderal.

Selain Daan, umumnya ketika menjabat Gubernur Jakarta, pangkatnya mayor jenderal. Bukan mayor, apalagi sersan mayor.

“Ahh, yang penting masih ada mayornya,” kata Jenderal Naga Bonar kepada Lukman, setelah siuman. Ia pingsan ketika pangkatnya diturunkan dari mayor menjadi sersan mayor.

Hukuman diberikan kepada Lukman setelah terbukti menghamili seorang gadis kampung, bernama Jamilah. Begitulah secuil kisah dalam film Naga Bonar, karya Asrul Sani pada 1987. Salah satu film terbaik Indonesia yang berulang kali saya lihat, sehingga hapal jalan cerita serta sejumlah dialognya.

Mayor Lukman, tokoh rekaan dalam film tersebut adalah otak dari pasukan yang dipimpin Jenderal Naga Bonar. Film ini berkisah tentang perlawanan tentara saat melawan penjajahan Belanda di Lubuk Pakam. Terinspirasi dari kisah perjuangan tokoh Karo, Payung Bangun, komandan Barisan Harimau Liar.

Mayor berasal dari pangkat majoor dalam ketentaraan Hindia Belanda atau het Koninlijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL). Orang pribumi Hindia Belanda atau Indonesia yang pernah mencapai pangkat ini, pada masa itu hanya satu orang, yaitu: Urip Sumohardjo.

Mayor memang pangkat terendah untuk golongan perwira menengah. Tetapi kalau kita belajar musik, pastilah tahu tangga nada mayor.

Kebetulan saat di SMP Katolik Budi Mulia ‘Desa Putra’ Jakarta, pada 1980-1983, saya mendapatkan pelajaran musik dari seorang bruder asal Belanda. Namanya Bruder Dagobert Vlej, dari ordo Katolik atau kongregasi Budi Mulia (BM). Biasa dipanggil dengan sebutan Bruder Dago.

“Solmisasi: Do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Itulah tangga nada mayor. Tangga nada yang paling terkenal di dunia, sudah ribuan bahkan jutaan lagu populer yang tercipta dari tangga nada tersebut,” kata Bruder Dago.

Ciri-ciri tangga nada mayor, kata dia, antara lain bersifat riang gembira dan bersemangat.

Nah, barangkali pula, para tentara berpangkat mayor terlihat gembira dan bersemangat. Sampai lupa bahwa jabatan itu belum waktunya untuk diperoleh.


Kembali ke figur Mayor Lukman dalam film Naga Bonar dengan tokoh utama Dedy Mizwar. Ternyata, Lukman adalah penentu segalanya. Dia menjadikan Naga Bonar (diperankan Dedy Mizwar), si tukang copet, menjadi jenderal.

‘’Kalau aku… mayor sajalah cukup. Tapi beras masuk dalam urusanku,’’ ujar Lukman dengan senyum terkembang.

DI antara para perwira itu, pangkat Lukman paling rendah. Tapi dialah yang paling diuntungkan sebagai pemegang lisensi berdagang beras untuk kesatuan tentara maupun untuk penduduk. Dia cukup menjadi ‘Mayor Beras’ atau mayor urusan logistik.

Naga Bonar memang hanya jenderal boneka. Boneka si Mayor Beras. Naga selalu kalah berdebat dengan Lukman. Dia selalu bilang, ‘’Bagaimana kudebat dia? Dia anak HBS (Hogere Burger School), awak sekolah bambu pun tak tamat.’’

Tapi dalam cerita itu, Asrul Sani menunjukkan ‘kejenderalan’ si Naga Bonar. Tentu saja dengan aksi-aksi yang komedis. Mayor Lukman mengkritik Jenderal Naga yang telah menggagalkan perundingan.

Naga menunjuk Parit Buntar sebagai markas kesatuannya, padahal tempat itu dapur tentara Belanda. Sang Jenderal berkata dengan keras, ‘’Aku tidak main-main, Lukman. Belanda itu mengira mereka pintar dan kita bodoh. Tapi Naga Bonar tidak bodoh. Kalau kukatakan di mana pasukan kita, dia akan tanya di mana kita taruh mortir, di mana 12,7.’’

Di akhir cerita, terungkaplan siapa sebenanrnya Lukman. Naga pun harus memberikan hukuman.

‘’Mayor Lukman, aku sudah larang mencuri. Siapa yang mencuri, baik ayam atau kambing atau apa saja, akan dihukum. Kau sudah mencuri barang rakyat, milik si Jamilah, anak Pak Jamal. Karena itu, kau harus dihukum. Kau harus turun pangkat, dari mayor jadi sersan mayor.’’

‘’Malulah aku, Bang.’’
‘’Yah, kau kan harus dihukum, Lukman. Kalau kau tak dihukum, apa kata orang nanti?’’
‘’Saya terima. Turun pangkat, boleh. Tapi dari mayor turun ke kapten, bukan ke sersan mayor. Sampai hatilah Abang.’’
‘’Hei, aku sudah pikir. Aku mau kau tetap mayor. Kupikir kau kapten mayor, tak bisa. Nanti kau bilang, tak ada pangkat macam begitu. Hei, malu aku! Jadi kubikin kau sersan mayor. Biar turun pangkat, tapi kau tetap mayor. Begitu, kan?’’
‘’Iya, Bang. Sekali mayor, tetap mayor!’’

Ya, bagi Naga Bonar, heroisme itu bukan soal pangkat, seragam, dan perang. Semua itu sudah berlalu. Naga Bonar bahkan tak melanjutkan karier militer selepas perang. Sempat ia berpikir menjadi polisi, tapi ia menimbang lagi keputusan itu.

“Masa pencopet menjadi polisi,” ujar Naga. Ia pun memilih berdagang dan tidak lagi mencopet.
Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan bekas Mayor Yoyok setelah sekarang tidak menjadi bupati lagi. Namun sepertinya ada cahaya di ujung lorong bagi bekas Mayor Yoyok dan Mayor Agus yang telah mengakui kekalahannya dalam kompetisi pilkada DKI Jakarta periode 2017-2022.


Wallahualam.

Related : Sekali Mayor, Tetap Mayor! Masih Ada Cahaya Di Ujung Lorong

0 Komentar untuk "Sekali Mayor, Tetap Mayor! Masih Ada Cahaya Di Ujung Lorong"