Banjir jakarta 2103 |
Ini adalah salah satu tulisan dikompasiana dan silahkan semua orang bebas untuk bisa menilainya....
Jakarta banjir, sudah menjadi tradisi. Ritual tahunan yang sulit diselesaikan begitu saja, terutama ketika sesumbar didahulukan melampaui “takdir” (jika kita mempercayainya). Apakah bajir adalah takdir bagi Jakarta? Bukan begitu maksudnya, karena banjir tetap dapat “disudahkan”, secara pelan. Bukan hanya dengan beberapa rencana, lalu ketika tidak ada banjir sebentar, pemerintah “sumringah” dan jumawa, merasa persoalan banjir sudah terselesaikan.
Faktanya, banjir tetap datang, tetap menjadi persoalan klasik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan “kerja pencitraan”. Ahok pernah sesumbar, sekira dua tahun lalu, untuk menjadikan “Jakarta anti banjir”. Dengan sangat meyakinkan, ia memastikan, bahwa Jakarta tidak akan banjir lagi. Jika terjadi, dijamin akan surut dalam sehari kecuali ada bendungan jebol dan pompa disabotase (gaya “menyalahkan” yang menjadi ciri khasnya). Beberapa waktu berlalu, dan momentum Pilkada pun tiba. Suasana hangat mulai terasa. Ahok, sebagai calon petahana, kembali “mengangkat” isu tentang kesuksesannya ngurusinbanjir. Hal itu kemudian diviralkan sedemikian rupa oleh para pendukung dan pemujanya (termasuk pasukan robotnya) di media sosial, dengan nada-nada jumawa, bangga, bahkan agaksedikit sombong mempertanyakan banjir di Jakarta. “Mana banjir, mana banjir?”, begitu kira-kira konklusi dari statement mereka di dunia virtual, yang viral dan semakin liar.
Joko Anwar, dalam salah satu cuitannya di twitter mengatakan, “Hujan siang malam. Berhari-hari. Jakarta belum juga kena bencana banjir. Dan kau masih bilang Ahok gubernur gagal”.
Budiman Sodjatmiko juga ikut memberikan komentar, “Musim hujan kok Jakarta gak banjir2 sich? Ini pasti ada “yang salah!””.
Banyak lagi cuitan yang bernada “jumawa". Untuk para pemuja, dan apalagi pasukan robotnya di media, bahasa yan digunakan lebih "sumringah lagi". Tapi, ketika hari ini banjir di Jakarta luar biasa "mengamuk", memenuhi titik sentral dan mengganggu aktivitas warga, sejenak kemudian, orang-orang yang dulu jumawa dan sumringah, menjadi "lenyap", sepi, dan anyep.
Bohong sekali kalau mengatakan Jakarta tidak banjir! Jika mau dipaksakan, suruh mereka yang bersuara lantang itu "turun" ke bumi, jangan memotret Jakarta dari menara gading, apalagi gedung pencakar langit. Itu pun masih menggunakan sedotan. Jadi yang tampak, Jakarta tetap indah.
Maka tidak aneh, ketika #JakartaBanjir merajai hastag dan trending. #MemotretJakarta pun tak tampak, karena hanya Jakarta yang "indah" yang menjadi bidikannya. Anehnya, yang salah kemudian adalah warganya; karena sampah-lah, bantaran kali yang ditempati-lah, atau karena kurangnya kesadaran. Sementara ketika Jakarta tidak banjir sebentar saja, yang dipuja dan dipuji adalah gubernurnya.
Tulisan ini tidak mau masuk lebih dalam pada "term kejumawaan" yang seakan-akan menentang "takdir" (sekali lagi, kalau mereka masih percaya), tapi hanya untuk merefleksi, sejauh yang bisa dilihat di depan mata, bahwa warga Jakarta masih tersiksa dengan banjir, yang beberapa minggu terakhir dijadikan komuditas pada waktu kampanye beberapa bulan terakhir. Kita tahu Ahok bekerja, tapi kita juga tahu, bahwa sebagiannya adalah hasil "kerja pencitraan" yang kemudian dihebohkan sedemikan rupa oleh pendukungnya, termasuk tim robot dan para buzzernya.
Tulisan ini, mungkin saja akan "dibantai" dan dihajar sedemikian rupa, lalu mereka menyajikan angka dan fakta keberhasilan Ahok, diikuti dengan foto-foto indah bak di surga. Tapi mereka lupa dan alpa untuk mengunjungi titik-titik banjir yang sebenarnya, karena mereka melihatnya hanya melalui lensa kamera. Tulisan ini bukan bentuk kemarahan, tapi hanya sekedar untuk mengingatkan, bahwa ada kesalahan dengan Jakarta dan banjir kali ini.
Sesumbar Ahok menemukan tuahnya ketika banjir yang hanya beberapa jam mengguyur, Jakarta kembali seperti sedia kala. Para buzzer yang biasanya rajin, seperti termakan dengan kata-katanya sendiri. Sepi dan anyep. Sukses yang dibangga-banggakan, ternyata hanya isapan jempol yang dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi sajian yang “wah”, tapi ternyata tak lebih dari ornamen semata. Masihkan kita anggap Ahok sebagai gubernur gagal? Tak perlu dianggap, karena memang ia telah gagal. Musim penghujan tapi tidak banjir, karena memang sedang tidak hujan. Ketika hujan mengguyur, lalu tampaklah banjir itu serupa wajah yang “menawan”. Artinya, Ahok dan para pemuja serta pendukungnya, tak perlu banyak sesumbar tentang banjir yang belum surut beneran!. Tak perlu jumawa dengan tugas yang belum terselesaikan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/geulis/jakarta-banjir-cerita-sesumbar-ahok-dan-pasukannya_58ac4237ba937347065474cf
Banjir jakarta 2103 |
Ini adalah salah satu tulisan dikompasiana dan silahkan semua orang bebas untuk bisa menilainya....
Jakarta banjir, sudah menjadi tradisi. Ritual tahunan yang sulit diselesaikan begitu saja, terutama ketika sesumbar didahulukan melampaui “takdir” (jika kita mempercayainya). Apakah bajir adalah takdir bagi Jakarta? Bukan begitu maksudnya, karena banjir tetap dapat “disudahkan”, secara pelan. Bukan hanya dengan beberapa rencana, lalu ketika tidak ada banjir sebentar, pemerintah “sumringah” dan jumawa, merasa persoalan banjir sudah terselesaikan.
Faktanya, banjir tetap datang, tetap menjadi persoalan klasik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan “kerja pencitraan”. Ahok pernah sesumbar, sekira dua tahun lalu, untuk menjadikan “Jakarta anti banjir”. Dengan sangat meyakinkan, ia memastikan, bahwa Jakarta tidak akan banjir lagi. Jika terjadi, dijamin akan surut dalam sehari kecuali ada bendungan jebol dan pompa disabotase (gaya “menyalahkan” yang menjadi ciri khasnya). Beberapa waktu berlalu, dan momentum Pilkada pun tiba. Suasana hangat mulai terasa. Ahok, sebagai calon petahana, kembali “mengangkat” isu tentang kesuksesannya ngurusinbanjir. Hal itu kemudian diviralkan sedemikian rupa oleh para pendukung dan pemujanya (termasuk pasukan robotnya) di media sosial, dengan nada-nada jumawa, bangga, bahkan agaksedikit sombong mempertanyakan banjir di Jakarta. “Mana banjir, mana banjir?”, begitu kira-kira konklusi dari statement mereka di dunia virtual, yang viral dan semakin liar.
Joko Anwar, dalam salah satu cuitannya di twitter mengatakan, “Hujan siang malam. Berhari-hari. Jakarta belum juga kena bencana banjir. Dan kau masih bilang Ahok gubernur gagal”.
Budiman Sodjatmiko juga ikut memberikan komentar, “Musim hujan kok Jakarta gak banjir2 sich? Ini pasti ada “yang salah!””.
Banyak lagi cuitan yang bernada “jumawa". Untuk para pemuja, dan apalagi pasukan robotnya di media, bahasa yan digunakan lebih "sumringah lagi". Tapi, ketika hari ini banjir di Jakarta luar biasa "mengamuk", memenuhi titik sentral dan mengganggu aktivitas warga, sejenak kemudian, orang-orang yang dulu jumawa dan sumringah, menjadi "lenyap", sepi, dan anyep.
Bohong sekali kalau mengatakan Jakarta tidak banjir! Jika mau dipaksakan, suruh mereka yang bersuara lantang itu "turun" ke bumi, jangan memotret Jakarta dari menara gading, apalagi gedung pencakar langit. Itu pun masih menggunakan sedotan. Jadi yang tampak, Jakarta tetap indah.
Maka tidak aneh, ketika #JakartaBanjir merajai hastag dan trending. #MemotretJakarta pun tak tampak, karena hanya Jakarta yang "indah" yang menjadi bidikannya. Anehnya, yang salah kemudian adalah warganya; karena sampah-lah, bantaran kali yang ditempati-lah, atau karena kurangnya kesadaran. Sementara ketika Jakarta tidak banjir sebentar saja, yang dipuja dan dipuji adalah gubernurnya.
Tulisan ini tidak mau masuk lebih dalam pada "term kejumawaan" yang seakan-akan menentang "takdir" (sekali lagi, kalau mereka masih percaya), tapi hanya untuk merefleksi, sejauh yang bisa dilihat di depan mata, bahwa warga Jakarta masih tersiksa dengan banjir, yang beberapa minggu terakhir dijadikan komuditas pada waktu kampanye beberapa bulan terakhir. Kita tahu Ahok bekerja, tapi kita juga tahu, bahwa sebagiannya adalah hasil "kerja pencitraan" yang kemudian dihebohkan sedemikan rupa oleh pendukungnya, termasuk tim robot dan para buzzernya.
Tulisan ini, mungkin saja akan "dibantai" dan dihajar sedemikian rupa, lalu mereka menyajikan angka dan fakta keberhasilan Ahok, diikuti dengan foto-foto indah bak di surga. Tapi mereka lupa dan alpa untuk mengunjungi titik-titik banjir yang sebenarnya, karena mereka melihatnya hanya melalui lensa kamera. Tulisan ini bukan bentuk kemarahan, tapi hanya sekedar untuk mengingatkan, bahwa ada kesalahan dengan Jakarta dan banjir kali ini.
Sesumbar Ahok menemukan tuahnya ketika banjir yang hanya beberapa jam mengguyur, Jakarta kembali seperti sedia kala. Para buzzer yang biasanya rajin, seperti termakan dengan kata-katanya sendiri. Sepi dan anyep. Sukses yang dibangga-banggakan, ternyata hanya isapan jempol yang dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi sajian yang “wah”, tapi ternyata tak lebih dari ornamen semata. Masihkan kita anggap Ahok sebagai gubernur gagal? Tak perlu dianggap, karena memang ia telah gagal. Musim penghujan tapi tidak banjir, karena memang sedang tidak hujan. Ketika hujan mengguyur, lalu tampaklah banjir itu serupa wajah yang “menawan”. Artinya, Ahok dan para pemuja serta pendukungnya, tak perlu banyak sesumbar tentang banjir yang belum surut beneran!. Tak perlu jumawa dengan tugas yang belum terselesaikan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/geulis/jakarta-banjir-cerita-sesumbar-ahok-dan-pasukannya_58ac4237ba937347065474cf
0 Komentar untuk "Jakarta Banjir Dan Cerita Tentang Sesumbar Ahok dan "Pasukannya" "