Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan

Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan
Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan

Masa perumusan pembentukan dasar negara Republik Indonesia berlangsung sengit. Saat itu ada dua kubu yang sama-sama bersikeras memilih Undang-undang Dasar Negara 1945 berdasarkan negara pancasila, atau berdasarkan Islam.
Kubu pertama memilih pancasila sebagai dasar negara, dan kubu kedua dasar negara dari agama, yaitu Islam. Soekarno dan Mohammad Yamin paling keras bahwa dasar negara harus Pancasila, sedangkan dari sebelah tetap berpendapat bahwa dasar negara harus Islam, yakni Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka).
Bahkan sebelum keputusan, tokoh dari partai Masyumi tersebut, Buya Hamka, sempat berpidato politik panjang lebar: “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” seru Buya Hamka dalam pidato tersebut.
Sontak saja dari front PNI, Mohammad Yamin, terkejut mendengarkan ucapan Buya Hamka dalam pidato itu. Tak kalah terkejutnya anggota dari pendukung negara berdasarkan azas Islam pun tercengang. Mohammad Yamin, putra bangsa dari Minang itu pun tak hanya marah kepada Buya, namun kebencian yang mendalam kepada ulama besar itu.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui bersama, akhirnya negara tercinta kita ini berdasarkan Pancasila, yang sebelumnya telah dirumus oleh putra terbaik Indonesia yang pernah kita miliki, yaitu sang “Fazar”, Soekarno.
Pada tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit. Sebelum melepaskan napas terakhirnya, beliau berwasiat: “Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantarkan jenazahku  ke kampung halamanku di Talawi.”
Wasiat terakahir itu Buya laksanakan dengan teguh, tanpa mengingat apapun yang pernah terjadi pada sosok yang berseberangan politik dengannya. Saat kedatangan Buya di rumah sakit, Mohammad Yamin terkulai lemas berlilit selang infus. Mohammad Yamin tampak begitu senang atas kedatangan ulama besar dari Minangkabau itu, dengan isyarat melambaikan tangan agar Buya mendekatinya.
Buya mendekat sosok yang pernah membencinya yang begitu dalam itu, lalu Buya genggam tangan Mohammad Yamin, kemudian beliau cium keningnya.
“Terima kasih, Buya, sudah sudi untuk datang,” bisik Moh. Yamin dengan suara nyaris tak terdengar oleh yang lain. Bisiknya kemudian, “dampingi saya!”
Mula-mula Buya membisikkan surat Al-Fatihah, lalu kalimat Laa Ilaaha Illalah. Dengan lemah Mohammad Yamin mengikuti bisikan Buya. Selanjutnya Buya melanjutkan kalimat tauhid sebanyak dua kali. Dan pada bacaan kedua, Mohammad Yamin sudah tidak bersuara lagi.
Kembali Buya mengucapkan kalimat tauhid, bahwa tiada Tuhan selain Allah, ke telinga Mohammad Yamin, namun kali ini sudah tidak ada respon darinya. Genggaman Mohammad Yamin mengendur, dan tangannya terasa dingin, perlahan genggamannya terlepas dari Buya. Anak bangsa, salah satu pendiri negara ini pun meninggal dunia. Dan keesokan harinya memenuhi wasiat terakhir, Buya menemani jenazah Mohammad Yamin sampai ke liang lahat, Desa Talawi, Sawah Lunto.
Karena politik Islamnya itu pula Buya Hamka kerap menuai berbagai masalah, baik kecaman dari lawan politiknya, juga berupa ancaman dari orang-orang yang membencinya.
Bahkan sosok yang dimuliakan bagi umat Islam Indonesia ini pernah dipenjara di zaman Soekarno, di tahun 1964-1966, selama dua tahun empat bulan. Beliau dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No.11, yaitu perencanaan pembunuhan terhadap Presiden RI, Soekarno. Padahal sampai beliau dibebaskan tidak pernah terbukti atas tuduhan tersebut.
Akhirnya beliau lepas, setelah Soekarno lengser, yang kemudian tampuk kepresidenan dipegang oleh sang jendral, Soeharto.
Empat tahun kemudian, Sokarno sakit-sakitan, sebelum ia memejamkan mata untuk terakhir kalinya, presiden pertama Indonesia ini berwasiat: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Mengetahui Soekarno meninggal, Buya Hamka pun buru-buru melayat ke jenazah Sang Proklamator di Wisma Yaso. Lalu Buya Hamka pun dengan mantap mengimani sholat jenazah Presiden RI pertama yang pernah memenjarakannya.
Sosok Buya Hamka memang keras terhadap politik Islam yang dianutnya, namun begitu beliau tidak pernah mengambil langkah kekerasan demi politiknya. Beliaulah politikus yang memperjuangkan Islam di ranah politik Indonesia dengan cara terbuka lagi lembut. Ia dengan lantang berkata negara harus berdasarkan Islam.
Nah, ketika Indonesia berdasarkan Pancila, tidak pernah sedikit pun Buya bertindak ekstrem. Namun tuduhan pembunuhan terhadap presiden harus ia jalani di jeruji besi. Seluruh rakyat Indonesia bisa melihat bagaimana tindakan Buya terhadap lawan politiknya? Malah beliau yang mengimani sholat jenazah dan mengantarkan sampai ke liang lahat tokoh-tokoh anak bangsa yang membenci, dan itu tentu saja atas wasiat mereka.
Bagi Buya Hamka jelas politik tidak bisa terlepas dari agama.
Sebagai tokoh ulama dan juga sosok pejuang kemerdekaan, beliau diangkat sebagai Ketua MUI di masa orde baru, 26 Juli 1977. Saat itu sudah kita ketahui, bahwa otoriternya Soeharto dalam memimpin tak bisa dinegosiasi, apalagi dipatahkan segala kebijakannya. Sebagai Ketua MUI, Buya berfatwa bahwa: “Haram bagi umat Islam merayakan natal.”
Atas fatwa itu pula beliau diprotes habis-habisan, dan juga mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia sendiri. Apalagi zaman itu, Soeharo lagi gencar-gencarnya menerapkan sikap toleransi dalam bermasyarakat, bahkan instansi pemerintahan lagi semangat-semangatnya mengadakan perayaan natal. Tapi beliau tetap pada prinsip politik Islamnya, daripada mencabut fatwa tersebut, ia lebih memilih mundur dari jabatannya.
Namun atas keteguhan hati dan prinsip Buya Hamka, citra MUI di mata umat Islam di Indonesia berhasil membangun bahwa MUI adalah suara umat Islam. Dua bulan setelah beliau keluar dari MUI, Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali menyampaikan: “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”
Dan tahun 1993 Buya Hamka mendapat penganugrahan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto. Dan di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber : viva.co.id
Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan
Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan

Masa perumusan pembentukan dasar negara Republik Indonesia berlangsung sengit. Saat itu ada dua kubu yang sama-sama bersikeras memilih Undang-undang Dasar Negara 1945 berdasarkan negara pancasila, atau berdasarkan Islam.
Kubu pertama memilih pancasila sebagai dasar negara, dan kubu kedua dasar negara dari agama, yaitu Islam. Soekarno dan Mohammad Yamin paling keras bahwa dasar negara harus Pancasila, sedangkan dari sebelah tetap berpendapat bahwa dasar negara harus Islam, yakni Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka).
Bahkan sebelum keputusan, tokoh dari partai Masyumi tersebut, Buya Hamka, sempat berpidato politik panjang lebar: “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” seru Buya Hamka dalam pidato tersebut.
Sontak saja dari front PNI, Mohammad Yamin, terkejut mendengarkan ucapan Buya Hamka dalam pidato itu. Tak kalah terkejutnya anggota dari pendukung negara berdasarkan azas Islam pun tercengang. Mohammad Yamin, putra bangsa dari Minang itu pun tak hanya marah kepada Buya, namun kebencian yang mendalam kepada ulama besar itu.
Namun, seperti yang sudah kita ketahui bersama, akhirnya negara tercinta kita ini berdasarkan Pancasila, yang sebelumnya telah dirumus oleh putra terbaik Indonesia yang pernah kita miliki, yaitu sang “Fazar”, Soekarno.
Pada tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit. Sebelum melepaskan napas terakhirnya, beliau berwasiat: “Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantarkan jenazahku  ke kampung halamanku di Talawi.”
Wasiat terakahir itu Buya laksanakan dengan teguh, tanpa mengingat apapun yang pernah terjadi pada sosok yang berseberangan politik dengannya. Saat kedatangan Buya di rumah sakit, Mohammad Yamin terkulai lemas berlilit selang infus. Mohammad Yamin tampak begitu senang atas kedatangan ulama besar dari Minangkabau itu, dengan isyarat melambaikan tangan agar Buya mendekatinya.
Buya mendekat sosok yang pernah membencinya yang begitu dalam itu, lalu Buya genggam tangan Mohammad Yamin, kemudian beliau cium keningnya.
“Terima kasih, Buya, sudah sudi untuk datang,” bisik Moh. Yamin dengan suara nyaris tak terdengar oleh yang lain. Bisiknya kemudian, “dampingi saya!”
Mula-mula Buya membisikkan surat Al-Fatihah, lalu kalimat Laa Ilaaha Illalah. Dengan lemah Mohammad Yamin mengikuti bisikan Buya. Selanjutnya Buya melanjutkan kalimat tauhid sebanyak dua kali. Dan pada bacaan kedua, Mohammad Yamin sudah tidak bersuara lagi.
Kembali Buya mengucapkan kalimat tauhid, bahwa tiada Tuhan selain Allah, ke telinga Mohammad Yamin, namun kali ini sudah tidak ada respon darinya. Genggaman Mohammad Yamin mengendur, dan tangannya terasa dingin, perlahan genggamannya terlepas dari Buya. Anak bangsa, salah satu pendiri negara ini pun meninggal dunia. Dan keesokan harinya memenuhi wasiat terakhir, Buya menemani jenazah Mohammad Yamin sampai ke liang lahat, Desa Talawi, Sawah Lunto.
Karena politik Islamnya itu pula Buya Hamka kerap menuai berbagai masalah, baik kecaman dari lawan politiknya, juga berupa ancaman dari orang-orang yang membencinya.
Bahkan sosok yang dimuliakan bagi umat Islam Indonesia ini pernah dipenjara di zaman Soekarno, di tahun 1964-1966, selama dua tahun empat bulan. Beliau dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No.11, yaitu perencanaan pembunuhan terhadap Presiden RI, Soekarno. Padahal sampai beliau dibebaskan tidak pernah terbukti atas tuduhan tersebut.
Akhirnya beliau lepas, setelah Soekarno lengser, yang kemudian tampuk kepresidenan dipegang oleh sang jendral, Soeharto.
Empat tahun kemudian, Sokarno sakit-sakitan, sebelum ia memejamkan mata untuk terakhir kalinya, presiden pertama Indonesia ini berwasiat: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”
Mengetahui Soekarno meninggal, Buya Hamka pun buru-buru melayat ke jenazah Sang Proklamator di Wisma Yaso. Lalu Buya Hamka pun dengan mantap mengimani sholat jenazah Presiden RI pertama yang pernah memenjarakannya.
Sosok Buya Hamka memang keras terhadap politik Islam yang dianutnya, namun begitu beliau tidak pernah mengambil langkah kekerasan demi politiknya. Beliaulah politikus yang memperjuangkan Islam di ranah politik Indonesia dengan cara terbuka lagi lembut. Ia dengan lantang berkata negara harus berdasarkan Islam.
Nah, ketika Indonesia berdasarkan Pancila, tidak pernah sedikit pun Buya bertindak ekstrem. Namun tuduhan pembunuhan terhadap presiden harus ia jalani di jeruji besi. Seluruh rakyat Indonesia bisa melihat bagaimana tindakan Buya terhadap lawan politiknya? Malah beliau yang mengimani sholat jenazah dan mengantarkan sampai ke liang lahat tokoh-tokoh anak bangsa yang membenci, dan itu tentu saja atas wasiat mereka.
Bagi Buya Hamka jelas politik tidak bisa terlepas dari agama.
Sebagai tokoh ulama dan juga sosok pejuang kemerdekaan, beliau diangkat sebagai Ketua MUI di masa orde baru, 26 Juli 1977. Saat itu sudah kita ketahui, bahwa otoriternya Soeharto dalam memimpin tak bisa dinegosiasi, apalagi dipatahkan segala kebijakannya. Sebagai Ketua MUI, Buya berfatwa bahwa: “Haram bagi umat Islam merayakan natal.”
Atas fatwa itu pula beliau diprotes habis-habisan, dan juga mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia sendiri. Apalagi zaman itu, Soeharo lagi gencar-gencarnya menerapkan sikap toleransi dalam bermasyarakat, bahkan instansi pemerintahan lagi semangat-semangatnya mengadakan perayaan natal. Tapi beliau tetap pada prinsip politik Islamnya, daripada mencabut fatwa tersebut, ia lebih memilih mundur dari jabatannya.
Namun atas keteguhan hati dan prinsip Buya Hamka, citra MUI di mata umat Islam di Indonesia berhasil membangun bahwa MUI adalah suara umat Islam. Dua bulan setelah beliau keluar dari MUI, Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali menyampaikan: “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”
Dan tahun 1993 Buya Hamka mendapat penganugrahan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto. Dan di tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Sumber : viva.co.id

Related : Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan

0 Komentar untuk "Politik Buya Hamka Dibenci tapi Sosok yang Dimuliakan"